Jumat, 29 Maret 2013
31 Juli 2012
ini juga tulisan yang sudah membuang air mata saya ! dwitasari :')
Diposkan
oleh dwita sari di 20.30
Waktu
merangkak dengan cepat, merangkak yang kita kira lambat ternyata bergerak seakan
tanpa jerat. Semua telah berubah, begitu juga kamu, begitu juga aku, begitu
juga kita. Bahkan waktu telah menghapus KITA yang pernah merasa tak berbeda,
waktu telah memutarbalikkan segalanya yang sempat indah. Tak ada yang tahu,
kapan perpisahan menjadi penyebab kegelisahan. Aku menjalani, kamu meyakini,
namun pada akhirnya waktu juga yang akan menentukan akhir cerita ini. Kamu tak
punya hak untuk menebak, begitu juga aku.
Kaubilang,
tak ada yang terlalu berbeda, tak ada yang terasa begitu menyakitkan. Tapi,
siapa yang tahu perasaan seseorang yang terdalam? Mulut bisa berkata, tapi hati
sulit untuk berdusta. Kalau boleh aku jujur, semua terasa asing dan berbeda.
Ketika hari-hari yang kulewati seperti tebakan yang jawabannya sudah kuketahui.
Tak ada lagi kejutan, tak banyak hal-hal penuh misteri yang membuatku
penasaran. Aku seperti bisa meramalkan semuanya, hari-hariku terasa hambar
karena aku bisa membaca menit-menit di depan waktu yang sedang kujalani. Aku
bisa dengan mudah mengerti peristiwa, tanpa pernah punya secuil rasa untuk
menyelami sebab dan akibatnya. Aku paham dengan detik yang begitu mudah
kuprediksi, semua terlalu mudah terbaca, tak ada yang menarik. Kepastian
membuatku bungkam, sehingga aku kehilangan rasa untuk mencari dan terus mencari.
Itulah sebabnya setelah tak ada lagi kamu di sini. Kosong.
Bagaimana
aku bisa menjelaskan banyak hal yang mungkin saja tidak kamu rasakan? Aku
berada di lorong-lorong gelap dan menunggu rengkuhan jemarimu mempertemukan aku
pada cahaya terang. Namun, bahkan tanganmu saja enggan menyentuh setiap celah
dalam jemariku, dan penyelamatan yang kurindukan hanyalah omong kosong yang
memekakkan telinga. Harapanku terlalu jauh untuk mengubah semuanya seperti
dulu, saat waktu yang kita jalani adalah kebahagiaan kita seutuhnya, saat masih
ada kamu dalam barisan hariku.
Perpisahan
seperti mendorongku pada realita yang selama ini kutakutkan. Kehilangan
mempersatukan aku pada air mata yang seringkali jatuh tanpa sebab. Aku sulit
memahami kenyataan bahwa kamu tak lagi ada dalam semestaku, aku semakin tak
bisa menerima keadaan yang semakin menyudutkanku. Semua kenangan bergantian
melewati otakku, bagai film yang tak pernah mau berhenti tayang. Dan, aku baru
sadar, ternyata kita dulu begitu manis, begitu mengagumkan, begitu sulit untuk
dilupakan.
Ada yang
kurang. Ada yang tak lengkap. Aku terbiasa pada kehadiranmu, dan ketika
menjalani setiap detik tanpamu, yang kurasa hanya bayang-bayang yang saling
berkejaran, saling menebar rasa ketakutan. Ada rasa takut tanpa sebab yang
memaksaku untuk terus memikirkan kamu. Ada kekuatan yang sulit kujelaskan yang
membawa pikiranku selalu mengkhawatirkanmu. Salahkah jika aku masih inginkan
penyatuaan? Salahkah jika aku benci perpisahan?
Tak banyak
yang ingin kujelaskan, saat kesepian menghadangku setiap malam. Biasanya,
malam-malam begini ada suaramu, mengantarku sampai gerbang mimpi dan
membiarkanku sendiri melewati setiap rahasia hati. Kali ini, aku sendiri,
memikirkan kamu tanpa henti. Jika kita masih saling menghakimi dan saling
menyalahi, apakah mungkin yang telah putus akan tersambung dengan pasti? Aku
tak tahu dan tak mau memikirkan keadaan yang tak mungkin kembali. Semua sudah
jelas, namun entah mengapa aku masih sulit memahami, kenapa harus kita yang
alami ini? Tak adakah yang lain? Aku dan kamu bukan orang jahat, namun mengapa
kita terus saja disakiti. Bukankah di luar sana masih banyak orang jahat?
Jangan
tanyakan padaku, jika senyumku tak lagi sama seperti dulu. Jangan salahkah aku,
jika pelangi dalam duniaku hanya tersedia warna hitam dan putih. Setelah kamu
tinggalkan firdaus milik kita, semuanya jadi berbeda. Aku bahkan tak mengenal
diriku sendiri, karena separuh yang ada dalam diriku sudah berada dalammu...
yang pergi, dan entah kapan kembali.
Saya
merindukanmu, juga kita yang dulu.
Seminggu Setelah Kepergianmu
http://dwitasarii.blogspot.com/2012/05/seminggu-setelah-kepergianmu.html
ini tulisan dwitasari yang bikin saya nangis sejadi-jadinya buat malam ini! thanks
|
Tak ada lagi
kamu yang memenuhi kotak inbox di handphone-ku. Tak ada lagi sapamu sebelum
tidur yang membuncah riuh di telingaku. Tak ada lagi genggaman tanganmu yang
menguatkan setiap langkahku. Tak ada lagi pelukanmu yang meredam segala
kecemasan. Tanpamu... semua berbeda dan tak lagi sama.
Aku membuka
mata dan berharap hari-hariku berjalan seperti biasanya, walau tanpamu, walau
tak ada kamu yang memenuhi hari-hariku. Seringkali aku terbiasa melirik ke
layar handphone, namun tak ada lagi ucapan selamat pagi darimu dengan beberapa emote
kiss yang memasok energiku. Pagi yang berbeda. Ada sesuatu yang hilang.
Lalu, aku
menjalani semua aktivitasku, seperti biasa, kamu tentu tahu itu. Dulu, kamu
memang selalu mengerti kegiatan dan rutinitasku. Namun, sekarang tak ada lagi
kamu yang berperan aktif dalam siang dan malamku. Tak ada lagi pesan singkat
yang mengingatkan untuk menjaga pola makan ataupun menjaga kesehatan. Bukan
masalah besar memang, aku mandiri dan sangat tahu hal-hal yang harusnya aku
lakukan. Tapi... kamu tentu tahu, tak mudah mengikhlaskan perpisahan.
Rasa ini
begitu absurd dan sulit untuk dideskripsikan. Kamu membawa jiwaku melayang ke
negeri antah-berantah, dan mengasingkan aku ke dunia yang bahkan tak kuketahui.
Aku bercermin, memerhatikan setiap lekuk wajahku dan tubuhku. Aku tak mengenal
sosok di dalam cermin itu. Tak ada aku dalam cermin yang kuperhatikan sejak
tadi. Aku berbeda dan tidak lagi mengenal siapa diriku. Seseorang yang kukenal
di dalam tubuhku kini menghilang secara magis setelah kepergian kamu. Kamu
merampas habis cinta yang kupunya, melarikannya ke suatu tempat yang sulit
kujangkau. Entah di mana aku bisa menemukan diriku yang telah hilang itu. Entah
bagaimana caranya mengembalikan sosok yang kukenal itu ke dalam tubuhku. Aku kebingungan
dan kehilangan arah.
Ingin
rasanya aku melempari segala macam benda agar bisa memecahkan cermin itu. Agar
aku tak bisa lagi melihat diriku yang tak lagi kukenal. Agar aku tak perlu
menyadari perubahan yang begitu besar terjadi setelah kehilangan kamu. Aku bisa
berhenti memercayai cinta jika terlalu sering tenggelam dalam rasa frustasi
seperti ini. Aku mungkin akan berhenti memercayai lawan jenis dan segala
janji-janji tololnya. Siksaanmu terlalu besar untukku, aku terlalu lemah untuk
merasakan semua rasa sakit yang telah kausebabkan.
Bagaimana
mungkin aku bisa menemukan seseorang yang lebih sempurna jika aku pernah
memiliki yang paling sempurna?
Aku benci
pada perpisahan. Entah mengapa dalam peristiwa itu harus ada yang terluka,
sementara yang lainnya bisa saja bahagia ataupun tertawa. Kamu tertawa dan aku
terluka. Kita seperti saling menyakiti, tanpa tahu apa yang patut dibenci. Kita
seperti saling memendam dendam, tanpa tahu apa yang harus dipermasalahkan.
Aku menangis
sejadi-jadinya, sedalam-dalamnya, atas dasar cinta. Kamu tertawa
sekeras-kerasnya, sekencang-kencangnya, atas dasar... entah harus kusebut apa.
Aku tak pernah mengerti jalan pikiranmu yang terlampau rumit itu. Aku merasa
sangat kehilangan, sementara kamu dalam hitungan jam telah menemukan yang baru.
Bagaimana mungkin aku harus menyebut semua adalah wujud kesetiaan? Begitu
sulitnya aku melupakanmu, dan begitu mudahnya kamu melupakanku. Inikah caramu
menyakiti seseorang yang tak pantas kaulukai?
Jam berganti
hari, dan semua berputar... tetap berotasi. Aku jalani hidupku, tentu saja
tanpa kamu. Kamu lanjutkan hidupmu, tentu saja dengan dia. Aku tak menyangka,
begitu mudahnya kamu menemukan pengganti. Begitu gampangnya kamu melupakan
semua yang telah terjadi. Aku hanya ingin tahu isi otakmu saja, apa kamu tak
pernah memikirkan mendung yang semakin menghitam di hatiku? Atau... mungkin
saja tak punya hati?
Tak banyak
hal yang bisa kulakukan, selain mengikhlaskan. Tak ada hal yang mampu
kuperjuangkan, selain membiarkanmu pergi dan tak berharap kamu menorehkan luka
lagi. Aku hanya berusaha menikmati luka, hingga aku terbiasa dan akan
menganggapnya tak ada. Kepergianmu yang tak beralasan, kehilangan yang begitu
menyakitkan, telah menjadi candu yang kunikmati sakitnya.
Aku mulai
suka air mata yang seringkali jatuh untukmu. Aku mulai menikmati saat-saat
napasku sesak ketika mengingatmu. Aku mulai jatuh cinta pada rasa sakit yang
kauciptakan selama ini.
Terima
kasih.
Dengan luka
seperti ini. Dengan rasa sakit sedalam ini. Aku jadi tambah sering menulis.
Lebih banyak dari biasanya.
Aku semakin
percaya, bahwa Kahlil Gibran butuh rasa sakit agar ia bisa menulis banyak hal.
Sama seperti
aku, butuh rasa sakit agar bisa lancar menulis... terutama yang bercerita
tentangmu.
http://dwitasarii.blogspot.com/2013_03_01_archive.html
29 Maret 2013
Aku
masih merasakan sesak yang sama. Aku tahu bahwa pada akhirnya aku akan sesedih
ini, aku berusaha menghindari air mata sekuat yang aku bisa. Tapi, kautahu, aku
adalah wanita paling tidak kuat menahan kesedihan. Kamu mendengar ceritaku
tentang pria itu kan? Aku selalu bercerita padamu tentang dia. Seberapa
dalamnya perasaanku, seberapa kuat cinta makin menerkamku, dan seberapa hebat
senyumnya bisa begitu meneguhkan langkahku.
Kamu tentu
tahu seberapa dalam perasaanku padanya dan betapa aku takut perbedaan aku dan
dia menjadi jurang. Aku tak pernah memikirkan perpisahan selama ini, tapi
ternyata hal yang begitu tak ingin kupikirkan pada akhirnya terpaksa masuk
otakku. Aku dan dia tak lagi seperti dulu. Sapaannya tak lagi sehangat dulu,
senyumnya tak lagi semanis dulu, dan tawanya tak lagi serenyah dulu. Aku tak
tahu perubahan macam apa yang membuat sosok pria itu begitu berbeda.
Dari semua
sikapku, tak mungkin kautak tahu aku punya perasaan lebih padanya. Dari semua
ceritaku, tak mungkin kautak paham bahwa aku mulai jatuh cinta padanya. Aku
terlalu banyak diam dan memendam, mungkin di situlah kesalahanku. Terlalu egois
mengatakan dan terlalu takut mengungkapkan. Aku tak bisa menyalahkan
siapa-siapa dan tak bisa mengkambinghitamkan siapa pun. Bukankah dalam cinta
tak pernah ada yang salah?
Mengetahui
kenyataan yang mencekam seperti itu, aku jadi malas tersenyum dan berbicara
banyak tentang perasaanku pada orang lain. Aku malah semakin belajar untuk
menutup rapat-rapat mulutku pada setiap perasaan yang minta diledakkan lewat
curhat-curhat kecil.
Berbahagialah
kamu bersama pria itu, pria yang selalu kubawa dalam cerita-ceritaku. Pria yang
bagiku terlalu tinggi untuk kugapai dan terlalu misterius untuk kumengerti
jalan pikirannya. Setiap melihatmu dengan pria itu, aku berusaha meyakinkan
diriku; bahwa aku juga harus ikut berbahagia melihatmu dengannya. Sejatinya,
cinta adalah ikhlas melihat orang yang kucintai bahagia meskipun ia tak pernah
menjadikanku pilhan satu-satunya.
Tenanglah,
aku sudah mulai melupakannya. Sudah ada seorang pria baru, yang tak begitu
kucintai, tapi kehadirannya bisa sedikit mengundang senyum di bibirku. Aku tak
tahu, apakah perasaanku pada pria baru itu adalah cinta. Aku tak berusaha
memahami, apakah hubungan yang kami jalani selama ini adalah ketertarikan
sesaat atau hanya sarana untuk menyembuhkan luka hatiku? Kami tertawa bersama,
menghabiskan waktu berdua, tapi segalanya terasa biasa saja. Tak ada ledakkan
yang begitu menyenangkan ketika aku bertatap mata dengannya.
Pria yang selalu kuceritakan padamu, yang kini telah menjadi kekasihmu, selalu berbentuk gumpalan bayang-bayang di otakku. Semakin aku berusaha melawan, semakin aku tak bisa menerima bahwa segalanya tak lagi sama. Aku tak ingin ingatanku dan perasaanku yang dulu begitu besar pada masa lalu menjadi penyiksa untuk pria baru yang ingin membahagiakanku kelak. Aku hanya berusaha mengerti yang terjadi dan berusaha pasrah dengan kenyataan yang memang harus kuketahui. Aku tak ingin dibohongi oleh kesemuan yang membahagiakan, lebih baik kenyataan yang memuakan tapi penuh kejelasan.
Pria yang selalu kuceritakan padamu, yang kini telah menjadi kekasihmu, selalu berbentuk gumpalan bayang-bayang di otakku. Semakin aku berusaha melawan, semakin aku tak bisa menerima bahwa segalanya tak lagi sama. Aku tak ingin ingatanku dan perasaanku yang dulu begitu besar pada masa lalu menjadi penyiksa untuk pria baru yang ingin membahagiakanku kelak. Aku hanya berusaha mengerti yang terjadi dan berusaha pasrah dengan kenyataan yang memang harus kuketahui. Aku tak ingin dibohongi oleh kesemuan yang membahagiakan, lebih baik kenyataan yang memuakan tapi penuh kejelasan.
Aku mohon,
jagalah pria itu dengan susah payah, dengan sekuat tenagamu. Aku ingin
kebahagiaannya terjamin olehmu. Aku ingin dia bahagia bersamamu. Di sini, aku tak
bisa berbuat banyak, selain membantu dalam doa.
Aku tak
sempat membuat dia tersenyum. Tolong, inilah permintaanku yang terakhir,
setelah ini aku tak akan mengganggumu; bahagiakan dia, buatlah dia terus
tersanyum, dan biarkan saja dia tak tahu ada seseorang yang terluka diam-diam
di sini.
http://dwitasarii.blogspot.com/2012/05/aku-tak-minta-banyak-hal-tuhan.html
16 Mei 2012
Reaksi:
|
Tuhan...
selamat pagi, atau selamat siang, dan selamat malam. Aku tak tahu di surga
sedang musim apa, penghujan atau kemaraukah? Ataukah mungkin sekarang sedang
turun salju? Pasti indah. Kalau boleh berbincang sedikit, aku belum pernah
melihat salju. Mungkin, kalau aku sudah cukup dewasa dan sudah bisa
menghasilkan uang sendiri, aku akan bisa menyaksikan salju, dengan mata
kepalaku sendiri.
Aku tahu
Kamu tak pernah sibuk. Aku tahu Kamu selalu mendengar isi hatiku meskipun Kamu
tak segera memberi pukpuk di bahuku. Aku tak perlu curiga padaMu, soal Kamu
mendengar doaku atau tidak. Aku percaya telingaMu selalu tersedia untuk
siapapun yang percaya padaMu. Aku yakin pelukanMu selalu terbuka bagi siapapun
yang lelah pada dunia yang membuatnya menggigil. Aku mengerti tanganMu selalu
siap menyatukan kembali kepingan-kepingan hati yang patah.
Masih
tentang hal yang sama, Tuhan. Aku belum ingin ganti topik. Tentang dia.
Seseorang yang selalu kuperbicangkan sangat lama bersamaMu. Seseorang yang
selalu kusebut dalam setiap frasa kata ketika aku bercakap panjang denganMu.
Aku sudah
tahu, perpisahan yang Kauciptakan adalah sesuatu yang terbaik untukku. Aku
mengerti kalau Kamu sudah mempersiapkan seseorang yang jauh lebih baik darinya.
Tapi... bukan berarti aku harus absen menyebut namanya dalam doaku bukan?
Nah... kalau
yang ini, aku juga sudah tahu. Dia sudah menemukan penggantiku, entah lebih
baik atau lebih buruk dariku. Atas alasan apapun, aku harus turut bahagia
mendengar berita itu, karena ia tak perlu merayakan kesedihannya seperti yang
aku lakukan beberapa hari terakhir ini. Seiring mendapatkan penggantiku, ia tak
perlu merasa galau ataupun merasa kehilangan. Sungguh... aku tak pernah ingin
dia merasakan sakit seperti yang kurasakan, Tuhan. Aku tak pernah tega melihat
kecintaanku terluka seperti luka yang belum juga kering di dadaku. Aku hanya
ingin kebahagiaannya terjamin olehMu, dengan atau tanpaku.
Tolong kali
ini jangan tertawa, Tuhan. Aku tentu saja menangis, dadaku sesak ketika tahu
semua berlalu begitu cepat. Apalagi ketika dia menemukan penggantiku hanya
dalam hitung jam. Aku memang tak habis pikir. Padahal, aku sedang menikmati
perasaan bahagia yang meletup pelan-pelan itu. Bukannya ingin berpikiran
negatif, tapi ternyata setiap manusia punya topengnya masing-masing. Ia
berganti-ganti peran sesukanya. Sementara aku belum cukup cerdas untuk mengerti
wajah dan kenampakan aslinya. Aku hanya melihat segala hal yang ia tunjukkan
padaku, tanpa pernah tahu apa yang sebenarnya ada dalam hatinya.
Aku tidak
tahu bagaimana kabarnya sekarang. Bagaimana hubungannya dengan kekasih barunya.
Aku tak terlalu ingin mengurusi hal itu. Aku yakin dia pasti bahagia, karena
begitu mudah mendapatkan penggantiku.
Aku percaya
dia sedang dalam titik jatuh cinta setengah mati pada kekasih barunya, dan
tidak lagi membutuhkan aku dalam helaan napasnya. Permintaan yang sama seperti
kemarin, Tuhan. Jagalah kebahagiaannya untukku. Bahagiakan dia untukku.
Senyumnya adalah segalanya yang kuharapkan. Bahkan, aku rela menangis untuknya
agar ada lengkungan senyum di bibirnya. Aku ingin lakukan apapun untuknya,
tanpa melupakan rasa cintaku padaMu. Aku memang tak menyentuhnya. Tapi... dalam
jarak sejauh ini, aku bisa terus memeluknya dalam doa.
Pernah
terpikir agar aku bisa terkena amnesia dan melupakan segala sakit yang pernah
kurasa. Agar aku tak pernah merasa kehilangan dan tak perlu menangisi sebuah
perpisahan. Rasanya hidup tak akan terlalu rumit jika setiap orang mudah
melupakan rasa sakit dan hanya mengingat rasa bahagia. Namun... aku tahu hidup
tak bisa seperti itu, Tuhan. Harus ada rasa sakit agar kita tahu rasa bahagia.
Tapi, bagiku rasa sakit yang terlalu sering bisa membuat seseorang menikmati
yang telah terjadi. Itu dalam persepsiku lho, Tuhan. Kalau pendapatMu berbeda
juga tak apa-apa.
Aku memang
tak perlu meratap, karena sepertinya ia bahagia bersama kekasih barunya. Ia
pasti telah menemukan dunia baru yang indah dan menyenangkan. Aku turut senang
jika hal itu benar, kembali pada bagian awal, Tuhan. Aku tak pernah ingin dia
merasakan sakitnya perpisahan, seperti yang aku rasakan.
Akhir percakapan, aku tidak minta agar dia segera putus dari kekasihnya, atau hubungan mereka segera kandas di tengah jalan. Aku hanya minta agar ia sembuh dari maag akutnya. Agar ia terhindar dari vertigo parahnya. Agar muntah darahnya berhenti ketika tubuhnya kelelahan. Semoga kekasihnya mengerti betul penyakitnya seperti aku mengerti rasa sakitnya.
Kembali pada
bagian awal. Aku hanya ingin ia bahagia. Cukup.
Langganan:
Postingan (Atom)